MEMALSUKAN NASAB
ANAK KEPADA SELAIN AYAHNYA DAN PENGINGKARAN AYAH TERHADAP ANAK SENDIRI
Menurut syariat
Islam, seorang muslim tidak dibenarkan menasabkan diri kepada selain ayahnya,
atau menggolongkan diri kepada selain kaumnya.
Sebagian orang
ada yang melakukan hal tersebut untuk tujuan materi, sehingga menulis nasab
palsu dalam surat-surat dan dokomen penting untuk memudahkan baginya urusannya.
Sebagian lain ada yang melakukannya karena dendam kepada sang ayah yang
meninggalkan dirinya sejak kecil.
Semua perbuatan
di atas hukumnya haram. Perbuatan tersebut melahirkan kerusakan besar di banyak
bidang persoalan, misalnya dalam urusan mahram, nikah, warisan dan sebagainya.
Dalam sebuah hadits marfu’ dari Sa’ad bin Abi Bakrah Radhiallahu'anhu
disebutkan :
“Barang siapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya sedang ia mengetahui maka haram baginya surga” (HR Al Bukhari, lihat fathul bari : 8/45).
Jadi menurut
ketentuan syariat, haram hukumnya mempermainkan nasab atau memalsukannya. Sebagian
laki-laki apabila terjadi pertengkaran dengan istrinya menuduhnya berselingkuh
dengan laki-laki lain, sehingga ia tidak mengakui anaknya sendiri tanpa bukti
apapun, padahal anak itu jelas-jelas lahir dari hubungan antara dia dan
istrinya.
Sebagian istri
juga ada yang berkhianat. Misalnya ia hamil dari hasil zina dengan lelaki lain,
tetapi kemudian ia menasabkan anak tersebut kepada suaminya yang sah.
Orang-orang sebagaimana disebutkan di atas, mendapat ancaman yang keras dari
Allah Subhanahu wata'ala.
Abu Hurairah
Radhiallahu’anhu meriwayatkan, bahwasanya ia mendengar Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, saat turun ayat mula’anah (saling
melaknat antara suami dengan istri karena tuduhan zina)
“Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah Tabaroka wata’ala berlepas diri dari padanya dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa dari laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anak yang sah) maka Allah Tabaroka wata’ala akan menutup diri padanya dan akan mempermalukannya di hadapan orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian” (HR Abu Dawud, 2/695, lihat Misykatul Mashabih, 3316).
Post a Comment
Post a Comment